“ Mau turun
dimana Bu??” Suara sopir angkot membuyarkan lamunanku.
“Pangkalan ojek
Alvin, Om” jawabku cepat dengan muka agak cemberut. Memikirkan berbagai
pertanyaan yang masih menggelayut di otak, menarik kesadaran yang sempat
terbang dalam pemandangan malam.
Ibu –panggilan sopir
itu untukku-, huu, sudah nampak setua itukah wajahkku hingga dipanggil Ibu?? Padahal
dari segi usia, belum juga genap 22 tahun usiaku. Atau karena penampilanku yang memakai baju
kebesaranku gamis-red ?? tak taulah….
Begitulah cuplikan
adegan kalo lagi jalan tidak bersama si Vega dan terpaksa harus naik angkot.
Tak hanya sekali aku di panggil dengan embel-embel “Bu”, di pasar, di jalan, di
Bank dan di tempat lainnya.
Suatu ketika,
waktu lagi ngumpul mentoring–yang anggotanya Akhwat Only- seorang temanku
berkata, “duhh, tadi aku dipanggil Ibu sama si sopir”, dan teman-temanku yang
lain juga mengiyakan peristiwa itu pernah terjadi kepada mereka. Ternyata bukan
hanya aku saja, pikirku.
Setelah saling
berbagi cerita, temanku yang paling dewasa dengan ringannya berkata “biar saja
di panggil dengan embel-embel Ibu, berarti kan mereka menghormati kita sebagai
perempuan, iya nggak??”. Mendengarnya, kami pun langsung mengangguk tanda
setuju dengan senyum yang mengembang. Ya, biar saja dipanggil Ibu, daripada di
panggil “Hai Cewek, boleh mo goda?” atau dengan suitan kayak manggil burung
kutilang, mendingkan dipanggil Ibu, baguskan artinya.
Jadi sekarang, kalo
ada yang manggil dengan embel-embel “Bu” sepertinya atak jadi masalah lagi
bagiku, Don’t worry be happy. Karena aku sudah terbiasa dipanggil dengan
embel-embel “Bu” di depan namaku karena tuntutan profesi. ^_^